1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

100 Tahun Hubungan Diplomatik Jerman-Turki

Christoph Hasselbach
24 April 2024

Seratus tahun lalu, Republik Turki yang baru didirikan dan Republik Weimar Jerman mulai menjalin hubungan diplomatik. Sejak itu, hubungan kedua negara mengalami berbagai masa pasang surut yang sulit.

https://p.dw.com/p/4f7Rd
Foto bendera Jerman dan Turki
Foto ilustrasi hubungan Jerman-TurkiFoto: Bernd von Jutrczenka/dpa/picture alliance

Presiden Federal Jerman Frank-Walter Steinmeier saat ini sedang melakukan kunjungan kenegaraan tiga hari ke Turki, yang merupakan kunjungan kenegaraan pertamanya ke negara itu sejak menjadi presiden tahun 2017. Waktu kunjungan ini bukan suatu kebetulan, karena bertepatan dengan peringatan seratus tahun terjalinnya hubungan diplomatik kedua negara.

Pada tahun 1924, baik Turki maupun Kekaisaran Jerman sedang memulai awal yang baru: kedua negara berada di pihak yang kalah setelah Perang Dunia Pertama, dan sebagai akibatnya harus menyerahkan wilayah mereka - Turki bahkan kehilangan sebuah kerajaan besar. Kedua negara juga lalu menghapuskan monarki.

Di Jerman, Republik Weimar menggantikan Kekaisaran. Namun perubahan internal di Turki jauh lebih besar lagi: pendiri Republik, Kemal Atatürk, menginginkan Turki yang sekuler dan berorientasi ke Eropa. Khilafah dan Syariah dari Kesultanan Ottoman lalu digantikan oleh sistem hukum dan pemerintahan sekuler.

Dua negara pendahulunya sudah menjalin hubungan diplomatik, militer, dan perdagangan yang erat, dan merupakan sekutu pada Perang Dunia Pertama. Beberapa bulan setelah berdirinya Republik Turki yang baru pada tahun 1923, hubungan diplomatik kembali terjalin dan sebuah perjanjian persahabatan disepakati.

Pendiri Republik Turki, Kemal Atatürk
Pendiri Republik Turki, Kemal AtatürkFoto: Ann Ronan/Picture Library/imago images

Türki menjadi tempat perlindungan mereka yang dikejar rezim Nazi

Salah satu fase dalam hubungan Jerman-Turki yang sering dilupakan saat ini adalah pelarian beberapa ratus orang Jerman yang dikejar-kejar rezim Nazi ke Turki. Saat itu Turki memang berada dalam posisi netral dalam hal kebijakan luar negeri.

"Turki di bawah Atatürk menjadi tempat perlindungan bagi banyak akademisi yang tertindas. Republik Turki (waktu itu) membutuhkan orang-orang yang berkualifikasi tinggi,” kata ahli sejarah dan pakar Turki, Rasim Marz.

Yang melarikan diri dan mendapat perlindungan di Turki saat itu antara lain politisi SPD yang kemudian menjadi walikota Berlin, Ernst Reuter. Ada juga ekonom Fritz Baade, komponisr Paul Hindemith dan banyak yang lain.

Pekerja Turki diundang ke Jerman

Tapi peristiwa penting yang memiliki dampak jangka panjang terhadap hubungan kedua negara adalah perjanjian perekrutan pekerja kasar Turki ke Republik Federal Jerman pada tahun 1961. Menurut Kementerian Luar Negeri, sekitar 876.000 pekerja didatangkan dari Turki untuk bekerja di pertambangan serta industri otomotif.

 Untuk waktu yang cukup lama, para pekerja kasar dari Turki disambut sebagai "Gastarbeiter”, yang artinya "pekerja tamu”. Tapi kebanyakan dari mereka kemudian memboyong keluarganya untuk menetap di Jerman. Saat ini ada sekitar tiga juta warga keturunan Turki tinggal di Jerman. Banyak juga yang sudah menjadi warga negara Jerman dan terjun ke dunia usaha.

Pada awal kunjungannya, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier memuji kontribusi para pekerja migran Turki dan mengunjungi lokasi bersejarah stasiun kereta Sirkeci di Istanbul: banyak pekerja Turki yang direkrut berangkat dari stasiun ini dengan kereta api menuju Jerman. "Mereka membantu membangun negara kita, menjadikannya kuat, dan menjadi bagian penting dalam masyarakat kita,” kata Steinmeier.

Sejak Recep Tayyip Erdogan menjadi presiden Turki, hubungan Jerman-Turki semakin memburuk. Terutama setelah Erdogan mengambil tindakan keras terhadap lawan politiknya pasca percobaan kudeta pada tahun 2016. Tapi Partai AKP pimpinan Erdogan mengalami kekalahan dalam pemilu lokal beberapa minggu lalu, pemenangnya adalah partai oposisi terbesar, CHP, yang antara lain memenangkan pemilihan walikota di Istanbul. Harapan besar partai oposisi sebagai calon presiden mereka di masa depan, adalah Walikota Istanbul Ekrem Imamoglu. Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier bertemu lebih dulu dengan walikota Istanbul  Imamoglu, sebelum bertemu dengan Erdogan di Ankara.

(hp/as)